Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Adakah yang lebih setia daripada tanganmu sendiri?

Jawab aku! Adakah yang lebih setia daripada tanganmu sendiri? Aku setuju denganmu Ada duka yang tak terucap Sakit tak tertahan Dan kecewa yang tak kunjung pergi. Dik, Tak ada yang benar-benar peduli pada jiwamu yang merana kecuali sepasang tanganmu. Betapa sanggupnya kamu terpikir untuk memaksa kananmu menyayat kirimu atas dosa-dosa yang tak pernah dilakukannya? "Tapi, berkat kedua tanganku yang tak mampu menjangkau mimpi-mimpikulah akhirnya aku terjatuh," katamu membela diri. Tidak dik, Tidak ada yang perlu disalahkan. Ikhlaslah. Menerimanya selayak kananmu dan kirimu yang saling melengkapi. Sebab tak ada yang lebih setia daripada tanganmu sendiri. Seperti pada permulaan. Sekarang. Selalu Dan sepanjang segala masa. Medan, 2015.

Dark Side

Do you know how the darkness feels like? No. You Don't. I do. It's part of me. Screaming. Raging. Fights for Release. It's part of me. Whispering. Flattering. Seeks its light. Jakarta, March 2018

Menanti Kantuk

( Sepulang dari Perjalanan ke Barat di Waktu Pagi bersama Sapardi ) Malam semakin larut. Lampu kamar kostku byarpet. Jarum panjang jam dindingku menuju angka dua belas, Jarum pendek jam dindingku menuju angka satu. Aku dan jam dinding tidak pernah bertengkar tentang siapa yang menciptakan waktu. Aku dan jam dinding tidak pernah bertengkar tentang siapa yang harus terlelap lebih dahulu. Jakarta, Maret 2018.

Kerak Telor

Kepul-kepul asap Menampar pasang-pasang lubang hidung yang kembang kempis Aku cabai-cabai kering. Yang hampir putus asa Menanti-nanti dalam adonan ketan basah serta becek kuning telur bebek Gambir, September 2017

Mendengarkan Lagu 'Tersesat'

Meski ke mana? Harus bagaimana? Semua berubah, Kecuali ingatan. Aku, Sama sepertimu Pernah ingin kembali ke masa lalu Hanya untuk bisa memulai lagi dari awal. Di mana langit? Di mana udara? Di mana dermaga ? Langit yang kupandang: Tetap sama. Tapi bumi, tak pernah berhenti berotasi. Udara yang kuhirup: Tetap sama. Tapi aroma yang menghinggapi, tak lagi kukenal. Dermaga yang kulalui: Tetap sama. Yang datang dan pergi silih berganti. Jika setiap hari adalah pencarian, Di mana petunjuk jalan menuju pulang? Di mana mereka yang seharusnya bersama? Di mana? Pikiranku terus berkeliling Ke segala arah Tapi Tetap saja tak pernah kutemukan: Sebuah jawaban. Lalu mengapa aku harus tetap mencari? Jika tersesat adalah hidup Kematian adalah mercusuar. Dan Pada akhirnya setiap orang hanya akan menjadi memori bagi orang lain. Jakarta, Maret 2018.

Begitulah kita.

Merasa saling mencinta, mau berbagi rasa saja tidak. Begitulah kita. Yang sama-sama terperangkap dalam diam dalam beribu pertanyaan dalam hati. Merasa takut kehilangan, apa yang dimiliki pun tidak tahu. Begitulah kita. Yang sama-sama diliputi rasa takut akan kesedihan akan kekecewaan akan perpisahan. Begitulah kita. Jakarta, Maret 2018

Pada Malam yang Basah

Disetiap bunyi Ambulan Wiuu ... wiuu ... wiuu ... Aku Seolah bisa menangkap renyah tawamu Yang hi... hi... hi... hi... Lalu Kamu datang Menjelma bulu romaku yang tegak berdiri Dan Pada malam yang basah Kamu mendesah Ah... ah... ah... Di dalam kepalaku Lalu  aku mau marah Tapi kamu sudah terlanjur berubah Menjadi arwah. Jakarta, Maret 2018

Tentang Tahu Bulat

Tentang Tahu Bulat Tak ada yang sempurna Bahkan bulatnya Tahu Bulat  Entah digoreng di mobil, bajaj, bahkan helikopter sekalipun Tak sebutir pun Tahu yang tahu kapan ia akan menjumpai penggorengan Karna semuanya terjadi begitu mendadak: tanpa persiapan Selalu ada proses Yang semula panas Kemudian hangat Lalu dingin Segalanya terjadi begitu cepat Dan bayangkan saat kamu benar-benar tak lagi bisa menikmatinya Enyoi memang, Hal yang begitu mengesankan terkadang tak terlihat oleh mata: Tahu yang kempes tak akan pernah mengutuk tusuk lidi yang tak pernah tahu betapa rapuhnya isi Tahu Bulat Jakarta, Maret 2017

Aku Enggan

Malam ini aku enggan menyapa hujan. Meski rinainya terus mengguyur pagar , halaman sampai kenangan masalaluku.  Ada sesuatu yang masih membahana  dalam ruang kecil yang biasa kusebut harapan ini. Malam ini aku enggan menyapa hujan. Meski ribuan katak merayuku dengan nyanyian-nyanyian alam  juga beberapa ekor unggas malam menambah gaduhnya pelataran jiwa ini.  Malam ini aku enggan menyapa hujan. Meski gemuruh, gumpalan awan hitam bahkan remang sinar rembulan mencoba menarik perhatianku dari singgasana khayalku. Malam ini aku enggan menyapa hujan. Karna aku masih ingin bermonolog dalam diam. Lampung, Maret 2016

Teman Kecil

Sudah lama aku menyukaimu bahkan sejak kamu belum bisa membedakan mana sepatu kanan dan mana sepatu kiri mana tangan untuk makan dan mana tangan untuk cebok Saat itu aku menyukaimu dengan sederhana. Bukan, bukan dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya tiada. Tentu aku belum mengenal istilah itu saat pertama aku menyukaimu. Saat itu aku menyukaimu dengan sederhana: dengan rasa bahagia yang muncul saat kita bermain di bawah rerintik hujan, dengan gelak tawamu yang renyah saat kamu mendapati aku yang tak sengaja menginjak kotoran kerbau, dengan rekah senyum di bibirmu saat kamu bercerita tentang Negeri para Bidadari di ujung pelangi. Kemudian dunia berubah saat yang lain menyebutku "Sudah Dewasa" Menjadikanku sulit untuk menemukan cara sederhana untuk berbahagia Dan kamu tetap menjadi anak-anak yang bersembunyi di dalam diriku. Aku mulai mengabaikanmu dan lebih memilih berteman baik dengan realita yang begitu kamu benci:

Pohon Jambu

Suatu hari kau pernah bilang, "Setiap pohon yang ditebang atau mati, akan bereinkarnasi menjadi satu bangunan baru." Tentu saja aku tertawa. Bagaimana tidak? Aku membayangkan, akan menjadi bangunan macam apa pohon jambu di depan rumahmu yang kau gantungi lampion-lampion kecil dan sering kau bacakan puisi itu kelak jika mati? "Pohon yang diperlakukan dengan baik, akan bereinkarnasi menjadi bangunan yang indah nantinya!" Katamu dengan begitu percaya diri. Sayangnya. Aku mulai percaya dengan kata-kata itu. Di kota ini, pohon-pohon telah bereinkarnasi menjadi gedung-gedung yang megerikan! Mereka mencakar-cakar langit! Tentu saja mereka iri karena tidak bisa lebih tinggi daripada lagit. Atau mungkin, gedung-gedung itu iri karena langit berhiaskan bintang, bulan dan kadang pelangi. Sedangkan gedung-gedung itu hanya berisikan jiwa-jiwa yang merasa kaya padahal satu-satunya yang mereka perjuangkan dan mereka miliki tidak lain hanyalah uang! H