Skip to main content

Posts

Tuhan Tidak Makan Cilok

Pengalaman terakhirku makan cilok abang-abang pinggiran terminal, berujung pada penderitaan seminggu diare. Tapi malam ini, makan cilok tak pernah terasa se-dramatis ini. Aku menyiapkan cash senilai harga tiket  Gold Class-nya CGV di saku kemejaku, "Self reward atas kerja keras minggu ini," pikirku. Sesungguhnya itu adalah sisa budget mingguanku, untuk makan besok biarlah jadi urusan besok. 19.05, masih ada waktu sekitar setengah jam dari jadwal  "A Haunting in Venice." Film adaptasi novel Agatha Christie yang sudah kunanti sejak bulan lalu. Sembari menunggu, tentu tak ada salahnya duduk menikmati udara malam yang terasa lebih puitis  saat kamu berhasil menghibur diri sendiri. Tapi, tulisan ini bukan tentang review dari film tersebut, aku tak cukup pande untuk membuatnya. "Beli tisunya, Om?" Sepasang tangan mungil menyodorkan  1 pack tisu yang merknya tidak terkenal. Kutaksir, usianya belum lebih 7 tahun, atau sedikit lebih tua dari keponakanku yang mengge
Recent posts

Menanti Pembeli, di Tengah Kota, di Sudut Harmoni

  Jumlahnya tiga puluh dua ribu rupiah. Ramdan  terlihat sibuk menghitung berulang-ulang uang lusuh di sudut JPO Harmoni. Siapa pun dapat menghitung jumlah uang di tangannya itu dalam satu kedipan mata.Tiga lembar sepuluh ribuan, dan selembar uang dua ribuan. Sesekali ia mendongak ke arah orang yang melewatinya dengan tatapan lirih, berharap ada seseorang yang memborong dagangannya supaya bisa segera pulang.  “Mulai jualan biasanya jam 1 siang, terus Kata Mamak jam 4 (sore) udah harus pulang,” kata Ramdan sambil melirik dagangannya yang masih banyak, semuanya dijual dengan harga enam ribu rupiah untuk keuntungan sebesar seribu lima ratus dari setiap satu dagangannya yang laku.  Ramdan Maulana, seorang bocah berusia delapan tahun yang terpaksa berjualan sepulang sekolah untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya menggantikan ibunya yang harus mengurus ketiga adik Ramdan yang masing-masing masih berusia enam tahun, empat tahun dan 7 bulan. Ayahnya bekerja sebagai tukang servis bara

My Neighbor Totoro dan Sebuah Pengalaman ‘Kembali’

Bayangkan kamu sedang duduk di sebuah ruangan dan memandangi album foto berisi potret diri kamu semasa kecil, lalu aku datang dan duduk di sebelahmu, jika kiranya kehadiranku menggangu, usir saja gapapa kok he-he-he. Bayangkan kenangan-kenangan bahagia saat kamu berada di usia itu. Cecap. Rasakan setiap perasaan yang muncul. Lebih dalam. Wait, kok malah jadi Examen. Bukan, aku hanya ingin bertanya apakah kamu masih mengenali sosok dalam album foto itu? Tidakkah kamu merindukannya? Sosok tersebut, sosok yang mampu melihat berbagai macam keajaiban yang tidak bisa dilihat oleh orang dewasa. Nah, dalam ulasan film kali ini aku mau mengajak kamu untuk bernostalgia dengan masa kecil kita melalui film yang ditulis dan disutradarai Hayao Miyazaki, My Neighbor Totoro . Film yang  dirilis pada tahun 1988 ini bercerita tentang petualangan ajaib Satsuki dan adiknya Mei bersama dengan makhluk-makhluk mitologi Jepang. Ya, tentu saja semua film yang disutradai oleh maestro animasi Jepang

Bong Joon-ho

Pertama kali kenal dengan beliau ini awalnya gara-gara film Okja (2017). Film yang berkisah tentang persahabatan antara seorang anak bernama Mija dengan seekor babi seukuran angkot hasil rekayasa genetik. Isu kekejaman perusahaan yang menggunakan hewan sebagai bahan dasar produknya, isu kapitalisme, isu tentang tindakan aparat yang semena-mena, dan isu-isu sosial yang dikandung film ini membuat gue semakin tertarik untuk lebih mengenal Bong melalui film yang disutradarainya. Barking Dog Never Bite (2000) yang merupakan debut pertama Bong menjadi film kedua yang gue tonton setelah Okja. Berkisah tentang seorang pria bernama Yun Ju yang sedang mengambil gelar Profesor namun terkendala karena sistem sogok menyogok pada birokrasi kampus masih sangat kental. Yun Ju yang tidak memiliki pekerjaan  harus menggantungkan hidup pada istrinya yang tetap bekerja saat sedang hamil. Rasa frustrasi yang dialami Yun Ju semakin memuncak tiap kali mendengar gonggongan anjing di sekitar apartem

Tentang Ingatan

Sebelumnya aku tidak pernah ingat bagaimana rasanya menjadi seorang bayi. Ingatan terjauhku hanya berjarak 18 tahun yang lalu dari hari ini. Ya, di usia normal seorang anak mulai bisa mengingat kejadian tentunya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Saat itu semesta rasanya tak lebih lebar dari kebun kopi milik kakekku dan tak ada masalah yang lebih pelik selain ketahuan menggunakan ladangnya sebagai arena perang dunia yang aku dan teman-temanku ciptakan sendiri. Lalu, apa yang terjadi padaku sebelum ingatan itu? Seketika pertanyaan ini muncul saat keponakanku, Elyn, yang baru berusia 4 bulan menggeliat di pangkuanku. Seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, ia langsung meraih jariku dan menggenggamnya sekuat tenaga. Secara gaib, aku merasa sedang dibawanya pada sebuah dimensi yang rasanya tak begitu asing bagiku. Sebuah dimensi di mana aku mampu mengakses semua ingatanku. Bahkan ingatan jauh sebelum aku dilahirkan. Di surga. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sebenarnya aku ragu untuk menuliskan rahasia sebesar ini di sini. Tapi

Jouska

Akan kuceritakan kepadamu pengalamanku selama hidup menjadi  tetesan air. ㅤㅤㅤㅤㅤ Aku terlahir sebagai setetes air mata seorang bocah yang ditinggal mati ibunya. Saat itu aku enggan meninggalkan pipi bocah itu. Aku senang bisa ikut merasakan kesedihannya, karena itulah perasaan yang pertama kali kukenal, sampai-sampai aku dibuat menangis karenanya. Siapa bilang air mata tak bisa menangis? Lalu aku menguap, menjadi butiran hujan kemudian jatuh ke gelas seorang pria paruh baya yang hendak minum. Berada dalam tubuh pria itu, membuatku ikut merasakan kelelahannya. Seketika aku sudah berada  diantara lipatan kerutan keningnya, dari sini aku bisa mendengar semua keributan di dalam kepalanya . Tidak lama, aku mengalir melalui pipi, dagu, leher, dan berhenti lagi di dadanya yang keriput. Aku merasakan degup jantungnya yang begitu kencang. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Pria ini begitu kelelahan," kataku dalam hati. Bagaimana tidak, seharian bekerja membanting-banting tulangnya demi istri dan seorang pu

Adakah yang lebih setia daripada tanganmu sendiri?

Jawab aku! Adakah yang lebih setia daripada tanganmu sendiri? Aku setuju denganmu Ada duka yang tak terucap Sakit tak tertahan Dan kecewa yang tak kunjung pergi. Dik, Tak ada yang benar-benar peduli pada jiwamu yang merana kecuali sepasang tanganmu. Betapa sanggupnya kamu terpikir untuk memaksa kananmu menyayat kirimu atas dosa-dosa yang tak pernah dilakukannya? "Tapi, berkat kedua tanganku yang tak mampu menjangkau mimpi-mimpikulah akhirnya aku terjatuh," katamu membela diri. Tidak dik, Tidak ada yang perlu disalahkan. Ikhlaslah. Menerimanya selayak kananmu dan kirimu yang saling melengkapi. Sebab tak ada yang lebih setia daripada tanganmu sendiri. Seperti pada permulaan. Sekarang. Selalu Dan sepanjang segala masa. Medan, 2015.