Akan kuceritakan kepadamu pengalamanku selama hidup menjadi tetesan air.
ㅤㅤㅤㅤㅤ
Aku terlahir sebagai setetes air mata seorang bocah yang ditinggal mati ibunya. Saat itu aku enggan meninggalkan pipi bocah itu. Aku senang bisa ikut merasakan kesedihannya, karena itulah perasaan yang pertama kali kukenal, sampai-sampai aku dibuat menangis karenanya. Siapa bilang air mata tak bisa menangis?
Lalu aku menguap, menjadi butiran hujan kemudian jatuh ke gelas seorang pria paruh baya yang hendak minum. Berada dalam tubuh pria itu, membuatku ikut merasakan kelelahannya. Seketika aku sudah berada diantara lipatan kerutan keningnya, dari sini aku bisa mendengar semua keributan di dalam kepalanya . Tidak lama, aku mengalir melalui pipi, dagu, leher, dan berhenti lagi di dadanya yang keriput. Aku merasakan degup jantungnya yang begitu kencang.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
"Pria ini begitu kelelahan," kataku dalam hati. Bagaimana tidak, seharian bekerja membanting-banting tulangnya demi istri dan seorang putranya yang menginginkan gawai baru, tentu bukan perkara mudah. Hidupnya begitu berat. Permasalahannya tak kalah pelik. Aku menyerah berlama-lama bersama pria ini. Tidak kuat. Di saat yang tepat, angin sore membantuku meninggalkan dadanya yang ikut berdesir melepasku. Sekali lagi, aku menguap, menjadi kristal awan sebelum matahari tergelincir, jatuh, dan tenggelam di barat.
Menjadi awan adalah keadaan yang tepat untuk buatku merefleksikan pengalamanku. Kuselami lagi ingatanku selama menjadi air mata seorang bocah. Dari sini aku belajar tentang kehilangan, kesedihan, dan ketakutan.
Tidak ingin tenggelam didalamnya, aku mengalir ke ingatan rupaku yang terakhir sebelum menjadi kristal awan: bulir keringat pria paruh baya. Bersamanya, aku belajar tentang kerja keras, pengorbanan, dan tanggung jawab. Sungguh pengalaman yang menarik.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Hari sudah malam, dan sudah saatnya aku kembali bertualang. Kutemukan kebebasan baru saat kujatuhkan diriku bersama yang lainnya. Kupasrahkan diri akan ke mana pada akhirnya aku jatuh.
Dan di sinilah aku berakhir. Menempel di pagar teras seorang anak kost-an. Dari jendela dia memandangiku. Tidak. Dia tidak sedang memandangiku. Tatap matanya kosong. Sesekali nanar. Orang seperti inilah yang mengingatkanku untuk bersyukur tidak terlahir sebagai manusia.
Aku bisa melihat kesedihannya. Tidak! Aku bisa merasakan amarahnya. Bukan! Aku mencium nestapanya. Salah! Dia sudah mati bersama dengan harapannya.
Mati.
Mat.
Ma.
M.
Ma.
Man.
Manu.
Manus.
Manusi.
Manusia!
Jakarta, Januari 2019
ㅤㅤㅤㅤㅤ
Aku terlahir sebagai setetes air mata seorang bocah yang ditinggal mati ibunya. Saat itu aku enggan meninggalkan pipi bocah itu. Aku senang bisa ikut merasakan kesedihannya, karena itulah perasaan yang pertama kali kukenal, sampai-sampai aku dibuat menangis karenanya. Siapa bilang air mata tak bisa menangis?
Lalu aku menguap, menjadi butiran hujan kemudian jatuh ke gelas seorang pria paruh baya yang hendak minum. Berada dalam tubuh pria itu, membuatku ikut merasakan kelelahannya. Seketika aku sudah berada diantara lipatan kerutan keningnya, dari sini aku bisa mendengar semua keributan di dalam kepalanya . Tidak lama, aku mengalir melalui pipi, dagu, leher, dan berhenti lagi di dadanya yang keriput. Aku merasakan degup jantungnya yang begitu kencang.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
"Pria ini begitu kelelahan," kataku dalam hati. Bagaimana tidak, seharian bekerja membanting-banting tulangnya demi istri dan seorang putranya yang menginginkan gawai baru, tentu bukan perkara mudah. Hidupnya begitu berat. Permasalahannya tak kalah pelik. Aku menyerah berlama-lama bersama pria ini. Tidak kuat. Di saat yang tepat, angin sore membantuku meninggalkan dadanya yang ikut berdesir melepasku. Sekali lagi, aku menguap, menjadi kristal awan sebelum matahari tergelincir, jatuh, dan tenggelam di barat.
Menjadi awan adalah keadaan yang tepat untuk buatku merefleksikan pengalamanku. Kuselami lagi ingatanku selama menjadi air mata seorang bocah. Dari sini aku belajar tentang kehilangan, kesedihan, dan ketakutan.
Tidak ingin tenggelam didalamnya, aku mengalir ke ingatan rupaku yang terakhir sebelum menjadi kristal awan: bulir keringat pria paruh baya. Bersamanya, aku belajar tentang kerja keras, pengorbanan, dan tanggung jawab. Sungguh pengalaman yang menarik.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Hari sudah malam, dan sudah saatnya aku kembali bertualang. Kutemukan kebebasan baru saat kujatuhkan diriku bersama yang lainnya. Kupasrahkan diri akan ke mana pada akhirnya aku jatuh.
Dan di sinilah aku berakhir. Menempel di pagar teras seorang anak kost-an. Dari jendela dia memandangiku. Tidak. Dia tidak sedang memandangiku. Tatap matanya kosong. Sesekali nanar. Orang seperti inilah yang mengingatkanku untuk bersyukur tidak terlahir sebagai manusia.
Aku bisa melihat kesedihannya. Tidak! Aku bisa merasakan amarahnya. Bukan! Aku mencium nestapanya. Salah! Dia sudah mati bersama dengan harapannya.
Mati.
Mat.
Ma.
M.
Ma.
Man.
Manu.
Manus.
Manusi.
Manusia!
Jakarta, Januari 2019
Comments
Post a Comment