Skip to main content

Tuhan Tidak Makan Cilok

Pengalaman terakhirku makan cilok abang-abang pinggiran terminal, berujung pada penderitaan seminggu diare. Tapi malam ini, makan cilok tak pernah terasa se-dramatis ini.

Aku menyiapkan cash senilai harga tiket  Gold Class-nya CGV di saku kemejaku, "Self reward atas kerja keras minggu ini," pikirku. Sesungguhnya itu adalah sisa budget mingguanku, untuk makan besok biarlah jadi urusan besok.

19.05, masih ada waktu sekitar setengah jam dari jadwal  "A Haunting in Venice." Film adaptasi novel Agatha Christie yang sudah kunanti sejak bulan lalu. Sembari menunggu, tentu tak ada salahnya duduk menikmati udara malam yang terasa lebih puitis  saat kamu berhasil menghibur diri sendiri. Tapi, tulisan ini bukan tentang review dari film tersebut, aku tak cukup pande untuk membuatnya.

"Beli tisunya, Om?" Sepasang tangan mungil menyodorkan  1 pack tisu yang merknya tidak terkenal. Kutaksir, usianya belum lebih 7 tahun, atau sedikit lebih tua dari keponakanku yang menggemaskan dan belum bisa ngomong R itu. Ia bersama ibunya tepat di sebelahnya, dengan beban 2 totebag McD terisi penuh pakaian menggantung di lengan kanannya, dan 1 kantung plastik besar penuh berisi tisu di lengan kirinya. Sejujurnya aku selalu kesulitan menolak tawaran semacam ini, terlebih jika yang kuhadapi adalah anak kecil.

Entah kemalangan macam apa yang sudah dilalui ibu dan anak yang sedang berdiri di hadapanku ini. Air muka sang ibu nampak begitu kelelahan dibalut dengan pakaiannya yang compang-camping, menyiratkan hari-hari berat yang telah mereka berdua lalui entah sejak kapan. 

"Kembaliannya buat kamu aja ya" jawabku sambil menyodorkan cash yang sudah kusiapkan untuk membeli tiket,  entah angin apa yang menuntunku untuk mengucapkan kalimat paling suci dalam transaksi jual beli ini. Sang ibu tetap merogoh-rogoh saku celananya berusaha mencari kembalian. Namun aku mencoba menekankan bahwa ia tak perlu sungkan, selisih harga tisu dengan uang yang kuberi bisa dipakai buat beli jajannya Abe saja. Ah, ya! Nama adik kecil itu Abe.

"Makasyiii omm! Om mau cilok?" 
Tutur katanya sangat ramah, benar-benar bentuk versi kecil dari ibunya. 
Aku mencoba menolak.
"Gapapa, aku udah kenyang," ia melanjutkan kalimatnya.

"Gapapa, diterima aja mas, belum dimakan. Baru beli kok," tegas ibunya.

Binar matanya, menyiratkan ketulusan mendalam. Kuterima bungkus cilok yang hanya tersisa 3 butir dan masih terasa hangat itu. Kemudian ia berlalu, menjajakan tisunya pada orang lain.

Hampir pasrah dengan kenyataan batal nonton, kudadapi lagi sudut-sudut ranselku. Syukur, terselip uang sisa insentif minggu lalu yang jumlahnya cukup untuk membeli tiket reguler.

Tak sanggup hati untuk meninggalkan cilok yang sedang kugenggam, aku memasukkannya ke dalam saku jaket. Tentu aku ragu untuk memakannya, bagaimana jika lambungku yang manja ini tidak cukup ramah menjamu bulir-bulir cilok ini?

***

"Tidak akan ada yang namanya ketidakadilan jika Tuhan itu ada." Kurang lebih begitulah dialog yang diucap Mr.Poirot, sang detektif yang juga tokoh utama dalam film yang sedang kutonton. Mendengar dialog tersebut, seketika sensasi hangat cilok di sakuku meresap ke dalam sanubariku (ceilah...).

Seketika, batinku bertanya-tanya tentang makna keadilan, dan teringat dengan asal-muasal cilok yang ada di sakuku ini. Sejujurnya aku tak cukup punya keilmuan yang mendalam untuk mendefinisikan makna keadilan dengan versi yang lebih pasti. Yang bisa kupastikan, hidup tak berlaku cukup adil terhadap orang-orang yang bernasib serupa dengan Abe.

Tapi, Sanusi, temanku, juga merasa hidup ini tidak adil  karena dalam kehidupan yang cuma sekali ini dia gagal menikah dengan gadis yang begitu ia cintai. Sesekali, dalam waktu-waktu tertentu pun aku merasa hidup ini tak berlaku cukup adil terhadapku. Pada kenyataannya, aku sering bertemu dengan orang-orang yang juga tak merasa diperlakukan cukup adil oleh Sang Animator kehidupan ini.

"Lalu, jika tiap-tiap orang di dunia merasa hidup ini tidak adil, bukankah itu cukup adil?" Isi kepalaku mulai memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terasa menyebalkan.

Kurogoh cilok di sakuku sambil kembali membayang-bayang wajah Abe. 

"Tuhan, berkatilah cilok ini dan tangan mungil yang sudah memberikannya kepadaku." Aku tak ingat kapan terakhir pernah berdoa sebelum makan.

Pedas, tidak gurih, rasa kecap yang asing, namun kenyal dan sedikit lebih bertekstur daripada kue mochi. Tapi entah mengapa, ujung mataku mulai basah saat kunyahan pertama. Aku mulai terharu lagi mengingat momen pertemuanku dengan Abe setengah jam yang lalu, aku mulai tak fokus menonton. Hidup sangat tidak adil baginya,bukan? Mungkin dia belum cukup umur untuk mempertanyakan perkara-perkara kehidupan yang kadang terasa begitu menyebalkan ini. 

Pikiranku bercabang. Antara berusaha tetap untuk menikmati film dan membayangkan skenario-skenario keseharian Abe di jalanan sambil berjualan tisu. 

Cilok yang hanya 3 butir itu habis dalam waktu 2 jam. sama dengan lamanya durasi film. Ya, tentu memakan makanan yang tidak dibeli dari bioskop tentu hal yang ilegal. Tapi jika ini menyangkut perkara menghargai ketulusan bocah dan perjalanan spiritual yang kualami saat menonton sambil makan cilok, aku bersedia dituntut akan hal itu. 

Pada butir  sisa cilok terakhir, tetes air mataku akhirnya jatuh tepat di akhir film. Di saat yang sama, aku merasakan kehadiran Tuhan di sebelahku. Tenang, kebetulan kanan dan kiriku adalah bangku kosong.

"Tuhan, apa itu keadilan?'' aku mulai melakukan percakapan-percakapan imajiner. Semua pertanyaanku hanya dijawab dengan senyuman. Aku yang tidak terlalu pintar ini tentu kesulitan mengartikan arti dari tiap-tiap senyuman itu. 

Ia masih di sebelahku, senyumannya sangat menenangkan.

"Tuhan, kau mau cilok?" 

"Tidak, cilok itu kepunyaanmu," untuk pertama kalinya pertanyaanku mendapat jawaban. "Habiskanlah, kau akan mendapatkan jawaban setelahnya. Aku tidak makan cilok."

Kutelan bulat-bulat butir cilok terakhir. Rasanya tetap tidak enak. Tapi di balik itu aku mulai sadar, betapapun aku sedang mempertanyakan tentang ketidakadilan dalam hidup ini, pada kenyataannya Ia sedang ada berada di sisiku. Kehadirannya tanpa kusadari menhadirkan perasaan tenang. Dia tidak menghakimiku atas pertanyaan-pertanyaanku. Seolah berkata, "Teenang, kau tidak sendirian."


Ia selalu menyertai kita. Seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad.



***
Jakarta, 22 September 2023.

Comments

  1. Kalau Tuhan tidak adil maka kita harus membiasakan diri untuk ketidakadilan itu.

    ReplyDelete
  2. Karya yang sangat menarik untuk dibaca bahkan untuk org yg tidak suka baca sepertiku. 👏🏻👍🏻

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Ingatan

Sebelumnya aku tidak pernah ingat bagaimana rasanya menjadi seorang bayi. Ingatan terjauhku hanya berjarak 18 tahun yang lalu dari hari ini. Ya, di usia normal seorang anak mulai bisa mengingat kejadian tentunya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Saat itu semesta rasanya tak lebih lebar dari kebun kopi milik kakekku dan tak ada masalah yang lebih pelik selain ketahuan menggunakan ladangnya sebagai arena perang dunia yang aku dan teman-temanku ciptakan sendiri. Lalu, apa yang terjadi padaku sebelum ingatan itu? Seketika pertanyaan ini muncul saat keponakanku, Elyn, yang baru berusia 4 bulan menggeliat di pangkuanku. Seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, ia langsung meraih jariku dan menggenggamnya sekuat tenaga. Secara gaib, aku merasa sedang dibawanya pada sebuah dimensi yang rasanya tak begitu asing bagiku. Sebuah dimensi di mana aku mampu mengakses semua ingatanku. Bahkan ingatan jauh sebelum aku dilahirkan. Di surga. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sebenarnya aku ragu untuk menuliskan rahasia sebesar ini di sini. Tapi

Menanti Pembeli, di Tengah Kota, di Sudut Harmoni

  Jumlahnya tiga puluh dua ribu rupiah. Ramdan  terlihat sibuk menghitung berulang-ulang uang lusuh di sudut JPO Harmoni. Siapa pun dapat menghitung jumlah uang di tangannya itu dalam satu kedipan mata.Tiga lembar sepuluh ribuan, dan selembar uang dua ribuan. Sesekali ia mendongak ke arah orang yang melewatinya dengan tatapan lirih, berharap ada seseorang yang memborong dagangannya supaya bisa segera pulang.  “Mulai jualan biasanya jam 1 siang, terus Kata Mamak jam 4 (sore) udah harus pulang,” kata Ramdan sambil melirik dagangannya yang masih banyak, semuanya dijual dengan harga enam ribu rupiah untuk keuntungan sebesar seribu lima ratus dari setiap satu dagangannya yang laku.  Ramdan Maulana, seorang bocah berusia delapan tahun yang terpaksa berjualan sepulang sekolah untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya menggantikan ibunya yang harus mengurus ketiga adik Ramdan yang masing-masing masih berusia enam tahun, empat tahun dan 7 bulan. Ayahnya bekerja sebagai tukang servis bara