Skip to main content

Menanti Pembeli, di Tengah Kota, di Sudut Harmoni


 

Jumlahnya tiga puluh dua ribu rupiah. Ramdan  terlihat sibuk menghitung berulang-ulang uang lusuh di sudut JPO Harmoni. Siapa pun dapat menghitung jumlah uang di tangannya itu dalam satu kedipan mata.Tiga lembar sepuluh ribuan, dan selembar uang dua ribuan. Sesekali ia mendongak ke arah orang yang melewatinya dengan tatapan lirih, berharap ada seseorang yang memborong dagangannya supaya bisa segera pulang. 

“Mulai jualan biasanya jam 1 siang, terus Kata Mamak jam 4 (sore) udah harus pulang,” kata Ramdan sambil melirik dagangannya yang masih banyak, semuanya dijual dengan harga enam ribu rupiah untuk keuntungan sebesar seribu lima ratus dari setiap satu dagangannya yang laku. 

Ramdan Maulana, seorang bocah berusia delapan tahun yang terpaksa berjualan sepulang sekolah untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya menggantikan ibunya yang harus mengurus ketiga adik Ramdan yang masing-masing masih berusia enam tahun, empat tahun dan 7 bulan. Ayahnya bekerja sebagai tukang servis barang elektronik, dibantu oleh kakak laki-laki Ramdan yang masih duduk di kelas 1 SMP.  

Aku sempat terdiam ketika Ramdan menceritakan tentang anggota keluarganya. Membayangkan bagaimana sulitnya hidup sebagai orang tua Ramdan di tengah kesederhanaan dan harus menanggung  kelima buah hati yang semuanya masih berusia anak-anak. Melibatkan Ramdan yang masih berusia delapan tahun dalam mencari nafkah adalah bukti yang cukup kuat bagiku untuk menilai bahwa Ramdan lahir di keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan.   

Dengan tangannya yang mungil itu, setiap hari Ramdan mampu menenteng sebanyak tiga puluh sampai empat puluh makanan ringan dengan kontainernya dari kontrakannya yang berjarak setengah jam menuju tempat ia biasa mangkal. Makanan ringan tersebut didapatkan Ramdan dari tetangganya yang merupakan pembuat kue.  

Ramdan bercerita, pernah suatu hari ia terkena razia Satpol PP dan harus merelakan dagangannya dibawa oleh petugas. Air muka Ramdan terlihat sedih saat ia bercerita peristiwa yang membuatnya mau tidak mau harus menanggung kerugian dari dagangannya yang dibawa secara paksa oleh petugas.

 Keuntungannya yang tak seberapa hari itu terpaksa harus digunakan untuk mengembalikan modal jualan kepada tetangganya. Ya, di saat anak seumurannya disibukkan dengan kewajiban tidur siang atau mengejar layang-layang yang putus, Ramdan sudah harus berurusan dengan Satpol PP. 

“udah jam 4, nih,” kataku kepada Ramdan. 

Tak terasa, kami sudah menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk mengobrol. Dagangannya belum berkurang, uang di tangannya belum bertambah. Ia merapikan dagangannya dan memasukan hasil penjualannya ke dalam kantung celananya.

“Kak, aku pamit pulang duluan, ya,” katanya kepadaku.

“Ini dagangan kamu aku beli semua ya,” jawabku sambil menyodorkan uang senilai total harga makanan di dalam kontainernya, “aku ambil donatnya aja lima, sisanya kamu bagi-bagi ke teman-teman kamu aja, ya.”

Ramdan beranjak pergi dengan senyum sumringah di wajahnya, dadaku berdesir mendengar ucap terima kasih darinya yang telah diulang sebanyak empat kali. 


Comments

Popular posts from this blog

Tuhan Tidak Makan Cilok

Pengalaman terakhirku makan cilok abang-abang pinggiran terminal, berujung pada penderitaan seminggu diare. Tapi malam ini, makan cilok tak pernah terasa se-dramatis ini. Aku menyiapkan cash senilai harga tiket  Gold Class-nya CGV di saku kemejaku, "Self reward atas kerja keras minggu ini," pikirku. Sesungguhnya itu adalah sisa budget mingguanku, untuk makan besok biarlah jadi urusan besok. 19.05, masih ada waktu sekitar setengah jam dari jadwal  "A Haunting in Venice." Film adaptasi novel Agatha Christie yang sudah kunanti sejak bulan lalu. Sembari menunggu, tentu tak ada salahnya duduk menikmati udara malam yang terasa lebih puitis  saat kamu berhasil menghibur diri sendiri. Tapi, tulisan ini bukan tentang review dari film tersebut, aku tak cukup pande untuk membuatnya. "Beli tisunya, Om?" Sepasang tangan mungil menyodorkan  1 pack tisu yang merknya tidak terkenal. Kutaksir, usianya belum lebih 7 tahun, atau sedikit lebih tua dari keponakanku yang mengge

Tentang Ingatan

Sebelumnya aku tidak pernah ingat bagaimana rasanya menjadi seorang bayi. Ingatan terjauhku hanya berjarak 18 tahun yang lalu dari hari ini. Ya, di usia normal seorang anak mulai bisa mengingat kejadian tentunya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Saat itu semesta rasanya tak lebih lebar dari kebun kopi milik kakekku dan tak ada masalah yang lebih pelik selain ketahuan menggunakan ladangnya sebagai arena perang dunia yang aku dan teman-temanku ciptakan sendiri. Lalu, apa yang terjadi padaku sebelum ingatan itu? Seketika pertanyaan ini muncul saat keponakanku, Elyn, yang baru berusia 4 bulan menggeliat di pangkuanku. Seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, ia langsung meraih jariku dan menggenggamnya sekuat tenaga. Secara gaib, aku merasa sedang dibawanya pada sebuah dimensi yang rasanya tak begitu asing bagiku. Sebuah dimensi di mana aku mampu mengakses semua ingatanku. Bahkan ingatan jauh sebelum aku dilahirkan. Di surga. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sebenarnya aku ragu untuk menuliskan rahasia sebesar ini di sini. Tapi