Skip to main content

Bong Joon-ho


Pertama kali kenal dengan beliau ini awalnya gara-gara film Okja (2017). Film yang berkisah tentang persahabatan antara seorang anak bernama Mija dengan seekor babi seukuran angkot hasil rekayasa genetik. Isu kekejaman perusahaan yang menggunakan hewan sebagai bahan dasar produknya, isu kapitalisme, isu tentang tindakan aparat yang semena-mena, dan isu-isu sosial yang dikandung film ini membuat gue semakin tertarik untuk lebih mengenal Bong melalui film yang disutradarainya.


Barking Dog Never Bite (2000) yang merupakan debut pertama Bong menjadi film kedua yang gue tonton setelah Okja. Berkisah tentang seorang pria bernama Yun Ju yang sedang mengambil gelar Profesor namun terkendala karena sistem sogok menyogok pada birokrasi kampus masih sangat kental. Yun Ju yang tidak memiliki pekerjaan  harus menggantungkan hidup pada istrinya yang tetap bekerja saat sedang hamil. Rasa frustrasi yang dialami Yun Ju semakin memuncak tiap kali mendengar gonggongan anjing di sekitar apartemennya sehingga dengan keadaan penuh tekanan Yun Ju akan membunuh ssetiap anjing yang ia temui di sekitar Apartemennya. Konflik semakin parah ketika istrinya datang dengan membawa seekor anjing kemudian hilang saat Yun dalam keadaan sangat terpaksa membawa anjing tersebut untuk berjalan-jalan. Sebuah film sederhana dengan nuansa satir khas  Bong.

Film ketiga yang disutradarai Bong yang gue udah tonton berjudul The Host (2006), berkisah tentang  serangan seekor makhluk hasil mutasi yang diakibatkan oleh kecerobohan seorang ilmuan. Oke, harus gue akui, kisahnya ini emang terdengar klasik, tapi harus gue akuin juga kalo kepiawaian Bong dalam memainkan emosi penonton  dalam film ini sangat berhasil. Alur yang ringan dan nggak berbelit-belit juga menghadirkan kenikmatan tersendiri selama menonton. Secara keseluruhan, gue suka endng film ini. Haru dan penuh kehangatan. Uwwh :*


Film keempat yang baru semingguan lalu gue tonton ini lagi rame-ramenya dibicarakan khalayak penikmat bioskop CGV dan Cinemaxx, ya karna cuma tayang di kedua tempat itu doang, sih. Parasite (2019). Dalam bahasa Indonesia parasite kurang lebih bisa diartikan sebagai benalu, organisme yang menempel dan terus menggerogoti tubuh inangnya sampai mati. Saran aja sih, kalo bisa nonton film ini dengan pencahayaan yang cukup ya karna ini film banyak mengandung dark humor yang bikin gue mau ketawa jatohnya malah meringis, terlalu gelap. Ini film yang bener-bener bisa jadi film multitafsir, tergantung apakah lo melihat dari kacamata seorang borjuis atau proletar, di antara keduanya atau tidak di antara keduanya. Film ini juga berusaha untuk menjelaskan bahwa kemiskinan tidak serta-merta hanya bersumber dari kemalasan. Tidak ada jaminan setiap orang akan menjadi kaya dengan menyerahkan seumur hidupnya untuk bekerja. Kepintaran juga tidak akan menjamin kamu bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, ya karna miskin. Pengen nulis lebih banyak tentang film ini sebenernya, tapi demi menghindari spoiler karena filmnya juga masih tayang di bioskop, gue mau bilang kalo film ini recommended banget buat ditonton. Oh iya, di akhir film mungkin akan terasa agak membingungkan. Gue aja baru sadar kalo film ini ternyata sekeren itu baru keesokan hari setelah nonton.



Masih ada beberapa film Bong Joon-ho yang belum gue tonton. Tapi berdasarkan hasil penelusuran gue terkait setiap film yang disutradarai Bong Joon, beliau emang selalu meninggalkan unsur satir di film-filmnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Tuhan Tidak Makan Cilok

Pengalaman terakhirku makan cilok abang-abang pinggiran terminal, berujung pada penderitaan seminggu diare. Tapi malam ini, makan cilok tak pernah terasa se-dramatis ini. Aku menyiapkan cash senilai harga tiket  Gold Class-nya CGV di saku kemejaku, "Self reward atas kerja keras minggu ini," pikirku. Sesungguhnya itu adalah sisa budget mingguanku, untuk makan besok biarlah jadi urusan besok. 19.05, masih ada waktu sekitar setengah jam dari jadwal  "A Haunting in Venice." Film adaptasi novel Agatha Christie yang sudah kunanti sejak bulan lalu. Sembari menunggu, tentu tak ada salahnya duduk menikmati udara malam yang terasa lebih puitis  saat kamu berhasil menghibur diri sendiri. Tapi, tulisan ini bukan tentang review dari film tersebut, aku tak cukup pande untuk membuatnya. "Beli tisunya, Om?" Sepasang tangan mungil menyodorkan  1 pack tisu yang merknya tidak terkenal. Kutaksir, usianya belum lebih 7 tahun, atau sedikit lebih tua dari keponakanku yang mengge

Tentang Ingatan

Sebelumnya aku tidak pernah ingat bagaimana rasanya menjadi seorang bayi. Ingatan terjauhku hanya berjarak 18 tahun yang lalu dari hari ini. Ya, di usia normal seorang anak mulai bisa mengingat kejadian tentunya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Saat itu semesta rasanya tak lebih lebar dari kebun kopi milik kakekku dan tak ada masalah yang lebih pelik selain ketahuan menggunakan ladangnya sebagai arena perang dunia yang aku dan teman-temanku ciptakan sendiri. Lalu, apa yang terjadi padaku sebelum ingatan itu? Seketika pertanyaan ini muncul saat keponakanku, Elyn, yang baru berusia 4 bulan menggeliat di pangkuanku. Seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, ia langsung meraih jariku dan menggenggamnya sekuat tenaga. Secara gaib, aku merasa sedang dibawanya pada sebuah dimensi yang rasanya tak begitu asing bagiku. Sebuah dimensi di mana aku mampu mengakses semua ingatanku. Bahkan ingatan jauh sebelum aku dilahirkan. Di surga. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sebenarnya aku ragu untuk menuliskan rahasia sebesar ini di sini. Tapi

Menanti Pembeli, di Tengah Kota, di Sudut Harmoni

  Jumlahnya tiga puluh dua ribu rupiah. Ramdan  terlihat sibuk menghitung berulang-ulang uang lusuh di sudut JPO Harmoni. Siapa pun dapat menghitung jumlah uang di tangannya itu dalam satu kedipan mata.Tiga lembar sepuluh ribuan, dan selembar uang dua ribuan. Sesekali ia mendongak ke arah orang yang melewatinya dengan tatapan lirih, berharap ada seseorang yang memborong dagangannya supaya bisa segera pulang.  “Mulai jualan biasanya jam 1 siang, terus Kata Mamak jam 4 (sore) udah harus pulang,” kata Ramdan sambil melirik dagangannya yang masih banyak, semuanya dijual dengan harga enam ribu rupiah untuk keuntungan sebesar seribu lima ratus dari setiap satu dagangannya yang laku.  Ramdan Maulana, seorang bocah berusia delapan tahun yang terpaksa berjualan sepulang sekolah untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya menggantikan ibunya yang harus mengurus ketiga adik Ramdan yang masing-masing masih berusia enam tahun, empat tahun dan 7 bulan. Ayahnya bekerja sebagai tukang servis bara