Skip to main content

review buku : Bekisar merah

Bekisar merah.
Hasil kawin silang antara ayam hutan dengan ayam kampung/ buras yang biasa menjadi pelengkap perhiasan rumah-rumah mewah.

Adalah Lasi, seorang gadis desa yang lahir dari kekejaman imperialis jepang terhadap wanita pribumi tanpa melakukan pertanggungjawaban. Menjadi istri seorang penyadap nira menjadikan Lasi harus tahan berlama-lama di depan tungku berisi nira mendidih dan mengaduknya hingga mengental sampai siap untuk dicetak. Kehidupan 'Nrimo ing Pandum' yang dijalani oleh setiap warga Karangsoga membuat mereka tetap hidup dalam kedamaian tanpa pernah menuntut Tauke untuk monopoli yang sesuka hati menentukan harga yang tidak sebanding dengan resiko jatuh dari ketinggian yang harus ditanggung para penyadap nira.

Kepahitan hidup benar-benar dirasa oleh Lasi ketika suaminya, Darsa yang naas jatuh dari pohon kelapa. Beruntung nyawanya masih tertolong. Beberapa bulan kesehatan Darsa dipercayakan kepada Bunek, seorang yang sebenarnya adalah dukun bayi. Hasilnya darsa sembuh dengan utang budi yang perlu dibayar Darsa. Dengan akal licik Bunek, Darsa berhasil dijebak untuk mengawini Sipan anak gadis bunek yang pincang.

Kenyataan yang dihadapi Lasi membuatnya memutuskan untuk hijrah ke kota. Sebuah keputusan yang tak pernah terpikirkan penduduk desa Karangsoga untuk mengenal kehidupan kota.

Dengan modal kecantikan yang tidak dimiliki wanita pribumi, Lasi akhirnya diperistri oleh Pak Han. Seorang kaya raya namun begitu tua untuk lasi. Sebuah perkawinan yang hanya main-main kata lasi.

Ironi kisah asmara Lasi berlanjut ketika Lasi kembali bertemu Kanjat, Teman kecil Lasi yang telah menjadi insinyur. Kanjat telah menaruh hati kepada Lasi sejak SD.

Dilema yang dihadapi Lasi kemudian memuncak, antara harus menuntut cerai Pak Han dan meminta Kanjat untuk mau menerimanya dalam keadaan status janda dua kali.
#####

Ahmad Tohari adalah novelis Indonesia yang begitu piawai dalam melukiskan kehidupan desa. Dengan karya-karya Ahmad Tohari yang lain seperti Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Kubah atau pun Di Kaki Bukit Cibalak , Ahmad Tohari berhasil memposisikan dirinya sebagai sastrawan yang tidak mudah dilupakan.

Melalui Bekisar Merah, Ahmad Tohari menggambarkan kesederhanaan dan keluguan penduduk desa yang rentan penindasan dan perampasan orang kota. Dengan latar ini Ahmad Tohari mencoba menunjukan empati dan simpatinya. Namun bagaimana empati dan simpati itu dapat diwujudkan?

Comments

Popular posts from this blog

Tuhan Tidak Makan Cilok

Pengalaman terakhirku makan cilok abang-abang pinggiran terminal, berujung pada penderitaan seminggu diare. Tapi malam ini, makan cilok tak pernah terasa se-dramatis ini. Aku menyiapkan cash senilai harga tiket  Gold Class-nya CGV di saku kemejaku, "Self reward atas kerja keras minggu ini," pikirku. Sesungguhnya itu adalah sisa budget mingguanku, untuk makan besok biarlah jadi urusan besok. 19.05, masih ada waktu sekitar setengah jam dari jadwal  "A Haunting in Venice." Film adaptasi novel Agatha Christie yang sudah kunanti sejak bulan lalu. Sembari menunggu, tentu tak ada salahnya duduk menikmati udara malam yang terasa lebih puitis  saat kamu berhasil menghibur diri sendiri. Tapi, tulisan ini bukan tentang review dari film tersebut, aku tak cukup pande untuk membuatnya. "Beli tisunya, Om?" Sepasang tangan mungil menyodorkan  1 pack tisu yang merknya tidak terkenal. Kutaksir, usianya belum lebih 7 tahun, atau sedikit lebih tua dari keponakanku yang mengge...

Pohon Jambu

Suatu hari kau pernah bilang, "Setiap pohon yang ditebang atau mati, akan bereinkarnasi menjadi satu bangunan baru." Tentu saja aku tertawa. Bagaimana tidak? Aku membayangkan, akan menjadi bangunan macam apa pohon jambu di depan rumahmu yang kau gantungi lampion-lampion kecil dan sering kau bacakan puisi itu kelak jika mati? "Pohon yang diperlakukan dengan baik, akan bereinkarnasi menjadi bangunan yang indah nantinya!" Katamu dengan begitu percaya diri. Sayangnya. Aku mulai percaya dengan kata-kata itu. Di kota ini, pohon-pohon telah bereinkarnasi menjadi gedung-gedung yang megerikan! Mereka mencakar-cakar langit! Tentu saja mereka iri karena tidak bisa lebih tinggi daripada lagit. Atau mungkin, gedung-gedung itu iri karena langit berhiaskan bintang, bulan dan kadang pelangi. Sedangkan gedung-gedung itu hanya berisikan jiwa-jiwa yang merasa kaya padahal satu-satunya yang mereka perjuangkan dan mereka miliki tidak lain hanyalah uang! H...

Menanti Pembeli, di Tengah Kota, di Sudut Harmoni

  Jumlahnya tiga puluh dua ribu rupiah. Ramdan  terlihat sibuk menghitung berulang-ulang uang lusuh di sudut JPO Harmoni. Siapa pun dapat menghitung jumlah uang di tangannya itu dalam satu kedipan mata.Tiga lembar sepuluh ribuan, dan selembar uang dua ribuan. Sesekali ia mendongak ke arah orang yang melewatinya dengan tatapan lirih, berharap ada seseorang yang memborong dagangannya supaya bisa segera pulang.  “Mulai jualan biasanya jam 1 siang, terus Kata Mamak jam 4 (sore) udah harus pulang,” kata Ramdan sambil melirik dagangannya yang masih banyak, semuanya dijual dengan harga enam ribu rupiah untuk keuntungan sebesar seribu lima ratus dari setiap satu dagangannya yang laku.  Ramdan Maulana, seorang bocah berusia delapan tahun yang terpaksa berjualan sepulang sekolah untuk membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya menggantikan ibunya yang harus mengurus ketiga adik Ramdan yang masing-masing masih berusia enam tahun, empat tahun dan 7 bulan. Ayahnya bekerja sebagai...